MOJOKERTO, IDEA JATIM — Akademisi Universitas Islam Majapahit (UNIM), Sakban Rosidi berpandangan, kondisi pendidikan di Indonesia saat ini menghadapkan masyarakat pada tiga pilihan dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Menurut Wakil Rektor Bidang Manajemen Informasi, Perencanaan dan Pengembangan UNIM Mojokerto bergelar doktor itu, pilihan pertama adalah selebrasi. Kedua, seremoni dan ketiga adalah refleksi.
-Advertisement-.
Menurutnya, jika kerangka berpikir masyarakat masih peduli terhadap pendidikan nasional, maka cara memperingati Hardiknas yaitu dengan refleksi dan interopeksi. Artinya, berangkat dari mawas diri atau interopeksi diri akan bergerak menuju refleksi atau aksi menuju perubahan yang lebih baik.
“Ada tiga pilihan, yaitu: Selebrasi, Seremoni dan Refleksi. Baik selebrasi maupun seremoni, mustahil dilakukan secara solitair, secara sendiri-sendiri. Jadi, bila masih ada kepedulian terhadap pendidikan nasional, maka cara senantiasa tersedia adalah memperingati Hardiknas dengan refleksi dan introspeksi. Jadi begitulah, dalam kesendirian, para pedagog niscaya mawas diri dan merenung. Yang apabila hasil refleksinya berimplikasi terhadap aksinya, maka terjadilah praksis, sebagaimana Marx dan Freire ungkapkan, yakni: daur berkesinambungan antara aksi dan refleksi,” kata Sakban Rosidi dalam keterangan tertulis yang diterima media ini, Jumat (2/5/20250)
Diakui olehnya, bahwa setiap usaha manusia senantiasa menghadapi paradoks. Artinya pemikiran atau pernyataan yang seringkali berlawanan dengan pendapat umum. Bahkan, paradoks dinilai sebagai namesis atau lawan yang tangguh
“Sepertinya kita lupa bahwa dalam segala usaha manusia, senantiasa menghadapi paradoks, tempat segala nemesis mengintai untuk membalikkan hasil usaha itu, hingga kita sampai pada kesimpulan yang sama dengan refleksi para pemikir terdahulu, seperti Ivan Illich lewat <>Celebration of Awareness>, Erick Fromm lewat <>The Nature of Man>, John Naisbit lewat <>Global Paradox>, atau yang lebih berbasis riset Arthur Mosher lewat <>Experiences in Farm Mechanizaton>. Kejutannya, semua pemikir itu menggarisbawahi pokok pikiran Marx dalam <>Economic and Philosophical Manuscripts>, yang terbit medio 1800an, tepatnya 1844,” terangnya.
Dengan detail, Sakban menjabarkan sebuah pemikiran Marx yang merupakan antitesis terhadap pemikiran mazhab Ricardo ini. Dia mengatakan, <>They want production to be limited to ‘useful things, but they forget that the production of too many useful things results in too many useless people>. Mereka ingin produksi dibatasi pada barang-barang yang bermanfaat, tetapi mereka lupa bahwa produksi terlalu banyak barang-barang yang bermanfaat, akan menghasilkan terlalu banyak orang tak berguna.
Begitulah, sambung dia, mesin-mesin pertanian dan pengolahan hasil pertanian, meminggirkan begitu banyak buruh pertanian. Automated Teller Machine, yang terjemahan Indonesianya tidak memunculkan kata mesin, menyingkirkan begitu banyak mbak-mbak teller, mesin pembayar tol, mesin pembayar parkir, aplikasi <>ticket-online>, aplikasi toko online, mesin sigaret kretik (SKM), sampai dengan nantinya akan semakin banyak <>self-driving> car, yang berpotensi menggantikan sebagian pengemudi, dan bahkan pengusaha angkutan.
Relevansi dengan dunia Pendidikan
Dosen Filsafat Pendidikan, Pascasarjana Universitas Insan Budi Utomo (UIBU) Malang ini menilai, lembaga persekolahan modern bisa menjadi ancaman besar bagi belajar dan pembelajaran.
Mereka yang belajar mandiri, didiskriminasi dan dipandang sebelah mata. Aktivitas belajar berubah menjadi sekadar memenuhi penugasan instruksional dan institusional. Berbagai macam tes dan angka dikumpulkan sebagai dasar pemeringkatan, hingga cukup layak disebut mengidap penyakit gila tes (<>testomania>) dan gila angka (<>quantofrenia>).
Menurutnya, hasrat ingin tahu dan sifat dasar menyelidik manusia, tidak lagi menjadi motif belajar dan meneliti.
“Sebangun dengan kecenderungan sekolah sebagai agama baru, juga muncul istilah medical nemesis. Kalau sekolah telah menjadi acaman hakikat belajar, maka lembaga medis telah menjadi ancaman besar bagi kesehatan yang merampas kekuatan individu untuk menyehatkan dan menyembuhkan diri sendiri. Jadi, tidak hanya dalam kedokteran, kita mengenal iatrogenesis, yakni kondisi dimana intervensi pendidikan yang menjadi sumber keogahan belajar. Seperti tindakan medis dan intervensi obat yang berefek samping sebagai sumber penyakit baru,” lontarnya.
Bagi dia, yang sangat patologis adalah tergerusnya rasa tanggungjawab baik para siswa maupun orang tua siswa dalam pendidikan. Politik pendidikan sosialistis dalam bentuk wajib belajar, naik kelas dan lulus otomatis, sekolah gratis, seragam gratis, dan belakangan makan bergizi gratis, adalah iatrogenesis bagi tumbuh-kembangnya keogahan para siswa menempa diri, hingga menjadikan mereka sebagai anak-anak yang lembek, lebai, kolokan, mudah patah tanpa ketangguhan diri.
“Memang terkesan semakin mudah dan ringan bagi orang tua untuk menyekolahkan anak, tetapi ini juga menjadikan keluarga-keluarga kita mengalami ketergantungan yang tentu saja menjadikan beban negara ke depan semakin berat. Jadi ancaman nyata kita ke depan adalah rapuhnya ketangguhan baik personal, keluarga, sosial dan sangat mungkin nasional. Politik, praktik dan <>outcome> pendidikan kita selama ini tampak tak sejalan dengan Trisakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan,” jelas dia.
Solusi atas Persoalan
Menurut dia, solusi yang ditawarkan memang agak gelap dan pasti tidak populer. Dan pastinya, kata dia, hal itu akan dihindari oleh para gladiator politik yang hasrat kemenangannya sangat besar.
Bagaimana tidak? Para siswa harus dibiasakan bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri. Sistem evaluasi sebagai <>social screening> harus dirancang agar siswa memiliki ketangguhan personal dengan membiasakan diri kegagalan, kebangkitan dan perjuangan terus-menerus.
“Para orang tua harus mengambil kembali tanggung jawab dalam pengasuhan dan pembiayaan pendidikan. Pun semua orang harus bertanggung jawab terhadap kesehatan dan kebugaran jasmani mereka. Jadi memang agak pesimis gambarannya,” tegasnya.
Dia menambahkan adanya alternatif lain, yakni memberi ruang kepada model dan jalur-jalur alternatif, tetapi dengan tetap memastikan sejumlah kecakapan dasar bagi siapa pun untuk belajar sepanjang hayat. Antara lain: kecakapan abstraksi, literasi, numerasi, imajinasi, dan kreasi.
“Model <>home-schooling> dan jalur belajar nonformal yang tidak sekadar bersifat sumplementer dan komplementer bagi persekolahan, bisa menjadi inspirasi dan embrio solusi ketika persekolahan yang masif dan terstruktur benar-benar gagal dalam membantu anak-anak manusia tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa, dengan mengasah daya-budi demi kehidupan yang baik (<>good life>), dan budi-daya penghidupan yang baik (<>good living)>,” tandasnya. (*)
Editor: IDJ