SURABAYA, IDEA JATIM—Mendirikan tenda, menyalakan api unggun, hingga bangun saat langit masih gelap untuk ikuti kegiatan jurit malam, begitulah aktivitas khas perkemahan yang masih lekat dalam ingatan banyak orang.
Meski zaman berubah dan teknologi mendominasi, kegiatan berkemah tetap menjadi ruang yang efektif untuk mendidik anak-anak dalam suasana alami. Jauh dari layar, dekat dengan nilai-nilai kehidupan.
Kegiatan perkemahan bukan hanya soal tidur di alam terbuka. Lebih dari itu, perkemahan adalah arena pendidikan karakter, tempat anak-anak belajar menghadapi tantangan nyata, membangun solidaritas, dan memahami arti kemandirian serta tanggung jawab.
-Advertisement-.
Kegiatan perkemahan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Gerakan Pramuka Indonesia sejak organisasi ini resmi berdiri pada 14 Agustus 1961. Kegiatan itu dirancang untuk memperkuat pembinaan mental, fisik, dan sosial peserta didik melalui pendekatan belajar yang menyenangkan.
Dalam perkembangannya, perkemahan mengalami banyak penyesuaian dengan beragam format yang kerap diadopsi oleh banyak sekolah untuk menyesuaikan durasi dan kesiapan usia peserta. Di antaranya yakni Perkemahan Sabtu-Minggu (Persami), Jumat-Sabtu-Minggu (Perjusami), Jumat-Sabtu (Perjusa).
Perjusa, misalnya, kerap digunakan di jenjang sekolah dasar karena lebih ringan dan lebih aman untuk usia dini. Tetapi ketiganya tetap membawa nilai-nilai pendidikan yang sama.
Salah satu contoh nyata dari implementasi kegiatan perkemahan dilaksanakan oleh Perjusa SD Dewi Sartika Wonokromo Surabaya. Kegiatan itu diikuti oleh siswa kelas V dan VI yang tergabung dalam 8 regu: putra dan putri.
Selama dua hari satu malam, para siswa menjalani berbagai aktivitas kepramukaan yang dirancang untuk melatih kemandirian, kedisiplinan, dan kerja sama tim.
Kepala SD Dewi Sartika, Fatchu Subchan menjelaskan, kegiatan tersebut tidak hanya berorientasi pada keseruan di alam terbuka, tapi juga bertujuan membentuk karakter peserta didik secara utuh.
“Kegiatan Perjusa ini bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi yang mandiri, cerdas, serta berbudi pekerti luhur. Mereka belajar bekerja sama, saling membantu, dan menghadapi tantangan secara mandiri,” ucapnya, Sabtu (16/5/2025).
Kegiatan Perjusa tersebut menyuguhkan lebih dari sekadar permainan. Ada materi kepemimpinan atau leadership dan inagorasi dari para pembina, serta sesi khusus bersama Kak Iful, Ketua Komnas Perlindungan Anak Kota Surabaya, yang mengajak para peserta merenungkan bakti mereka kepada orang tua.
“Kami membekali peserta dengan tanggung jawab dan refleksi tentang bakti kepada orang tua. Itu penting agar nilai-nilai moral tumbuh sejak dini,” jelas Kak Iful.
Pesan-pesan ini tidak hanya masuk di kepala, tetapi juga menyentuh hati para peserta. Nadia Almira, siswi kelas 5, mengaku mendapatkan pengalaman yang membuatnya ingin berubah.
“Saya termotivasi untuk mengubah sikap selama ini. Saya ingin jadi pribadi yang lebih baik dan disiplin. Sepulang dari Perjusa, saya ingin minta maaf ke orang tua karena sebelumnya masih sering berbuat salah,” ujar Nadia.
Di balik keberhasilan kegiatan itu, tentu ada peran para pembina. Salah satunya adalah Novia, yang mengapresiasi materi yang diberikan selama kegiatan berlangsung.
“Alhamdulillah, materinya sangat bagus. Menggugah siswa untuk menetapkan tujuannya ke depan dan memotivasi mereka menjadi pribadi yang lebih baik lagi,” ungkap Novia.
Di tengah dunia yang semakin terhubung secara digital, kegiatan seperti Perjusa adalah pengingat bahwa pendidikan karakter sejati masih memerlukan pengalaman nyata. SD Dewi Sartika melalui kegiatan ini menunjukkan komitmennya untuk membentuk generasi yang mandiri, cerdas, dan berbudi pekerti. Tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga kuat secara moral. (*)