SURABAYA, IDEA JATIM – SDGs atau Sustainable Development Goals kerap kali terasa seperti jargon global yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Tapi bagi sekelompok mahasiswa Teknik Industri ITS, konsep ambisius itu justru diterjemahkan menjadi aksi nyata di sebuah kampung kecil di Surabaya.
Di sinilah filosofi IE-Mprove Village menemukan tempatnya. Program pengabdian masyarakat tahunan yang diinisiasi oleh Departemen Sosial Masyarakat (SOSMA) Himpunan Mahasiswa Teknik Industri (HMTI) ITS itu bukan sekadar orientasi sosial biasa.Â
Sejak pertama kali diadakan, IE-Mprove Village telah menjadi panggung awal bagi mahasiswa baru Teknik Industri ITS untuk belajar tentang realitas masyarakat sekaligus menerapkan ilmu sosial dasar yang tak diajarkan di ruang kuliah, tidak terkecuali untuk IE-Mprove Village di tahun 2025 ini.
-Advertisement-.
“Melalui program IE-Mprove Village, kita ingin mahasiswa, terutama mahasiswa baru punya semangat pengabdian yang bukan top-down, tapi saling belajar,” ucap Randi Abgari selaku ketua pelaksana IE-Mprove Village 2025, Ahad (25/5/2025).
Membumikan SDGs Lewat Aktivitas Sehari-hari
Selama dua minggu, tepatnya pada 18–19 Mei dan 24-25 Mei 2025, HMTI ITS angkatan 2024 dan 2023 terjun ke beberapa kampung di Surabaya, salah satunya adalah Kampoeng Oase Songo, sebuah komunitas edukatif dan ekowisata yang dikelola oleh warga di Kecamatan Sukomanunggal, Surabaya untuk melaksanakan IE-Mprove Village 2025.
Randi menjelaskan bahwa Kampoeng Oase Songo sengaja dipilih sebagai salah satu lokasi kegiatan karena dirasa memiliki banyak bahan yang bisa dijadikan pembelajaran untuk para Maba. Namun, mereka tidak datang dengan tangan kosong, tapi juga membawa program-program untuk masyarakat setempat.
“Fokus kami memang ingin membumikan SDGs, tidak hanya kepada mahasiswa baru namun juga kepada masyarakat yang kami datangi,” kata Marvin.
Di Kampoeng Oase Songo, program dibagi ke dalam tiga kelompok menurut usia, yakni kelompok anak-anak, kelompok ibu-ibu, dan kelompok bapak-bapak dengan total peserta dari hari pertama ditaksir sekitar 60 peserta.
Anak-Anak Diajak Membuat Roti
Penanggung jawab lapangan (PIC) di Kampoeng Oase Songo, Davryan Marvin menjelaskan bahwa paling tidak di kegiatan hari terakhir saja, sudah ada 3 poin SDGs yang bisa dipelajari dan direalisasikan.
Kelompok anak-anak diajak untuk belajar nilai-nilai kehidupan dan keberlanjutan dengan cara yang menyenangkan. Tidak terlalu muluk, anak-anak diajak oleh para mahasiswa untuk membuat roti.
“Harapan kami, anak-anak tidak hanya belajar dari buku, tapi juga dari pengalaman langsung yang membekas,” jelas Marvin.
Penerapan SDGs:
- SDG 3 – Good Health and Well-being
- SDG 4 – Quality Education
Ibu-Ibu Belajar Ecoprint
Sementara itu, kelompok ibu-ibu difokuskan pada keterampilan yang mendukung ekonomi sirkular. Mereka diajak belajar membuat ekoprint yang jika dikembangkan bisa menjadi sebuah wirausaha yang tidak hanya menguntungkan, melainkan juga ramah lingkungan. Ecoprint sendiri ialah cara memanfaatkan daun dan bunga sebagai motif alami pada kain.
“Kami berharap kegiatan ini bisa jadi modal ekonomi baru bagi warga. Ekoprint bisa dikembangkan menjadi produk kreatif,” kata Marvin.
Tujuan SDGs
- SDG 3 – Good Health and Well-being
- SDG 4 – Quality Education
Bapak-Bapak Berbagai Ilmu Hidroponik
Di sisi lain, kelompok bapak-bapak tidak ketinggalan. Bukan didalam kelas, mereka diajak berkeliling kampung dan saling bertukar ilmu budidaya hidroponik dan ketahanan pangan dengan para mahasiswa. Hidroponik juga menjadi perwujudan konkret dari SDG 12 tentang pola konsumsi dan produksi berkelanjutan.
“Kampoeng Oase Songo sendiri sebenarnya sudah mengadaptasi hidroponik, jadi kita hanya berbagi ilmu saja,” tambah Marvin.
Tujuan SDGs:
- SDG 4 – Quality Education
- SDG 12 – Responsible Consumption and Production
Marvin mengungkapkan bahwa seluruh kegiatan tersebut dijalankan dengan membawa semangat keilmuan teknik industri, yakni memberikan input seminimal mungkin dan menghasilkan output yang semaksimal mungkin.
Warga: Kami Juga Punya Ilmu untuk Dibagi
Namun yang paling menarik, pengabdian tersebut bukan berjalan satu arah. Warga Kampoeng Oase Songo juga turut menjadi pendidik.
Meski sudah berulang kali didatangi oleh tamu dari berbagai pihak, mulai dari universitas lain hingga tamu liar negeri, Yaning mengaku sangat senang karena akhirnya didatangi oleh ITS, karena sudah lama ia berharap salah satu perguruan tinggi ternama di Surabaya itu juga melirik kampungnya.
“Sudah lama saya ingin ITS datang ke sini. Akhirnya terlaksana. Bagi kami, ini bukan soal dibantu, tapi soal saling menguatkan. Mereka belajar dari kami, kami belajar dari mereka,” kata Yaning.
Yaning berharap, program seperti ini bisa rutin dilakukan dan tidak berhenti di satu titik kegiatan. Menurutnya, masyarakat akan lebih siap jika diajak bertumbuh bersama, bukan sekadar diberi pelatihan lalu ditinggal.
Dari kegiatan ini, terlihat bahwa SDGs bukan sesuatu yang hanya bisa dibahas dalam forum-forum internasional atau seminar ilmiah.
Di tangan mahasiswa yang punya semangat pengabdian, dan warga yang terbuka pada kolaborasi, SDGs justru bisa diwujudkan melalui hal-hal kecil dan konkret. (*)