MALANG, IDEA JATIM—Perubahan zonasi ke domisili dalam sistem penerimaan murid baru (SPMB) tahun ajaran 2025–2026 di Kabupaten Malang belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan.
Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Malang, Zia’ul Haq menilai, perubahan sistem tersebut tetap menyisakan ketimpangan dalam akses masuk sekolah negeri.
-Advertisement-.
Hal itu diungkapkannya setelah melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke SMPN 1 Lawang dan SMPN 1 Singosari beberapa waktu yang lalu.
“Sistem domisili ini pada praktiknya tidak jauh berbeda dengan zonasi. Seperti di SMPN 1 Singosari, anak dari Candirenggo masuk ring satu. Sementara dari Desa Losari yang jaraknya sangat dekat, malah masuk ring dua. Ini jadi problem,” ucapnya, Rabu (28/5/2025).
Zia menyebut, sistem penerimaan peserta didik tahun ini seolah hanya berganti istilah. Namun masih menimbulkan ketimpangan yang sama. Kedekatan jarak rumah ke sekolah tidak otomatis memberi prioritas.
“Antara Losari dan sekolah itu berhadapan langsung. Tapi karena beda kelurahan atau desa, dianggap beda domisili prioritas. Ini seperti domisili rasa zonasi,” tegas politisi Gerindra ini.
Tak hanya soal sistem ring wilayah, pihaknya juga menemukan pelaksanaan SPMB yang masih dilakukan secara manual. Di SMPN 1 Lawang contohnya. Orang tua siswa harus datang langsung ke sekolah untuk mendaftarkan anak mereka.
“Saya melihat seperti antre daftar berobat. Ada lebih dari 200 orang tua datang langsung. Kasihan juga, sampai harus izin tidak masuk kerja,” ujarnya.
Zia menegaskan pentingnya sekolah-sekolah negeri untuk tetap memberi prioritas pada kelompok rentan. Seperti anak yatim, yatim piatu, dan keluarga tidak mampu.
“Kami pesankan supaya anak-anak yatim, yatim piatu, dan anak miskin diprioritaskan. Jangan sampai mereka tersisih karena sistem ini. Kalau mereka harus ke swasta, sementara orang tuanya tidak mampu, itu kan menyulitkan,” tandasnya.
Menurut Zia, prioritas kepada anak yatim dan keluarga miskin tidak melanggar aturan. Selama dilakukan dengan niat membantu dan bukan dalam bentuk jual beli kursi.
“Kalau tujuannya menolong anak yatim, saya yakin tidak akan ada masalah. Yang dilarang itu jual beli kursi, bukan memberi afirmasi,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala SMPN 1 Singosari, A. Purwati menyatakan, pihaknya sejak lama telah memberi ruang afirmasi bagi anak yatim melalui kuota khusus.
“Sudah dari dulu kami memprioritaskan anak yatim. Mereka masuk lewat jalur afirmasi, sekitar 20 persen dari kuota 320 siswa,” terangnya. (*)