SURABAYA, IDEA JATIM – Indonesia akhirnya resmi meluncurkan Bullion Bank Indonesia, sebuah langkah yang digadang-gadang mampu memperkuat hilirisasi emas dan meningkatkan daya saing industri emas nasional.Â
Namun, di balik harapan besar ini, muncul tantangan serius yang harus segera diatasi, mulai dari harga emas yang lebih mahal dibanding bullion bank internasional hingga regulasi perpajakan yang dinilai masih kurang berpihak pada industri dalam negeri.
-Advertisement-.
Indonesia: Raksasa Emas yang Belum Maksimal Mengelola Potensinya
Menurut laporan Metals Focus dan World Gold Council 2023, Indonesia merupakan penghasil tambang emas terbesar keenam di dunia pada 2020, tetapi turun ke peringkat ketujuh pada 2023, disalip oleh Ghana.Â
Selain itu, berdasarkan data GFMS Gold Survey 2023, industri perhiasan emas Indonesia berada di peringkat ke-11 dunia, sebuah posisi yang cukup tinggi tetapi masih jauh dari potensi maksimal.
Meski memiliki kekayaan emas yang melimpah, industri emas nasional belum mampu mengoptimalkan hilirisasi dan nilai tambah produk emas dalam negeri. Selama ini, sebagian besar emas Indonesia lebih banyak diproses dan dimanfaatkan di luar negeri.Â
Ketua Pusat Studi Pengembangan Industri dan Kebijakan Publik ITS, menegaskan bahwa bank ini memiliki peran penting dalam menyederhanakan rantai pasokan emas nasional.
“Indonesia kaya akan emas, tapi selama ini nilai tambahnya lebih banyak dinikmati negara lain. Bullion Bank hadir untuk mengubah itu, agar kita bisa lebih mandiri dalam mengelola emas dari hulu ke hilir,” ujar Arman, Rabu (26/2/2025).
Dari 2021 ke 2025: Transformasi Industri Emas Indonesia
Peluncuran Bullion Bank pada 2025 adalah hasil dari proses panjang yang dimulai sejak 2021. Saat itu, industri emas nasional masih terfragmentasi, tanpa sistem perbankan emas yang jelas. Berikut adalah perbedaan kondisi antara 2021 dan 2025:
2021: Industri Emas yang Belum Terintegrasi
- Bullion Bank belum ada di Indonesia.
- Pegadaian dan Bank Syariah Indonesia (BSI) menjadi pemain utama, tetapi hanya berfokus pada layanan gadai dan tabungan emas individu.
- Industri perhiasan emas belum terhubung dengan sistem perbankan emas nasional.
- Harga emas dan pasokan untuk industri perhiasan masih bergantung pada impor.
2025: Era Baru dengan Bullion Bank Indonesia
- Pegadaian dan BSI bergabung membentuk Bullion Bank Indonesia, menciptakan sistem transaksi emas yang lebih modern dan terstruktur.
- Tabungan emas menjadi layanan utama, tetapi hanya bisa diakses oleh individu, tidak termasuk industri perhiasan.
- Harga emas di Bullion Bank Indonesia lebih mahal 3 persen dibanding bullion bank internasional, membuatnya kurang kompetitif bagi industri perhiasan lokal.
- Kebijakan perpajakan masih menjadi kendala bagi industri perhiasan untuk menggunakan Bullion Bank sebagai sumber pasokan emas.
“Bullion Bank adalah langkah maju, tetapi masih ada tantangan besar yang harus diatasi agar benar-benar bermanfaat bagi seluruh ekosistem industri emas kita,” ujar Arman.
Harga Emas yang Lebih Mahal dan Tantangan Perpajakan
Salah satu kendala utama Bullion Bank Indonesia adalah harga emas yang lebih mahal hingga 3 persen dibanding bullion bank internasional. Hal ini menyebabkan industri perhiasan emas dalam negeri lebih memilih membeli emas dari luar negeri, yang justru membuat Indonesia semakin bergantung pada impor.
“Kalau harga emas kita tidak kompetitif, industri perhiasan dalam negeri tetap akan mencari emas dari luar. Kita harus cari solusi agar Bullion Bank benar-benar bisa menjadi pilihan utama,” imbuhnya.
SNI sebagai Solusi Kualitas dan Kepercayaan Pasar
Salah satu solusi yang didorong adalah penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk emas secara wajib. Saat ini, SNI 8880:2020 masih bersifat sukarela, sehingga kualitas emas yang beredar di pasar domestik belum seragam.Â
Jika SNI diwajibkan, hal ini akan memberikan kepastian kualitas bagi pasar dan memperkuat ekosistem emas nasional.
“Standarisasi SNI bukan hanya soal regulasi, tetapi soal membangun kepercayaan. Jika emas kita sudah terstandarisasi dengan baik, pasar akan lebih percaya, dan bank pun lebih mudah menerima emas sebagai jaminan,” papar Arman.
Mengolah Emas di Dalam Negeri: Solusi Mengurangi Ketergantungan Impor
Strategi lain yang diusulkan adalah mengolah hasil tambang emas langsung di dalam negeri melalui refinery lokal. Saat ini, sebagian besar emas yang ditambang di Indonesia dikirim ke luar negeri untuk diolah, kemudian kembali ke Indonesia dalam bentuk produk emas jadi dengan harga lebih mahal.
Jika Indonesia mampu memperkuat refinery lokal, rantai pasokan emas akan lebih pendek, biaya produksi lebih murah, dan harga emas yang dijual di Bullion Bank bisa lebih bersaing dengan bullion bank internasional.Â
Namun, untuk mencapai kondisi ideal ini, perlu dilakukan audit terhadap kapasitas refinery yang ada di Indonesia, agar bisa dipastikan bahwa kebutuhan industri dapat terpenuhi secara efisien.
Masa Depan Bullion Bank Indonesia
Dengan berbagai tantangan yang masih harus diatasi, peluncuran Bullion Bank Indonesia tetap menjadi langkah besar bagi industri emas nasional. Jika regulasi dapat diselaraskan dan hambatan harga bisa ditekan, Bullion Bank berpotensi menjadi pilar utama dalam pengelolaan emas nasional.
“Bullion Bank ini bukan hanya sekadar institusi baru, tetapi harus benar-benar menjadi solusi untuk industri emas kita. Jika kita bisa memperbaiki kebijakan harga, perpajakan, dan standarisasi, maka Bullion Bank bisa menjadi kunci masa depan emas Indonesia,” pungkas Arman.
Peluncuran Bullion Bank Indonesia menandai babak baru dalam industri emas nasional. Namun, perjalanan masih panjang. Tantangannya kini adalah bagaimana memastikan Bullion Bank bisa benar-benar menjadi solusi bagi seluruh ekosistem emas dalam negeri, bukan hanya institusi perbankan baru yang berjalan di tempat. (*)