SURABAYA, IDEA JATIM — Dunia maya baru-baru ini kembali diramaikan oleh tren visual yang unik, foto-foto pribadi yang diubah menjadi gambar bergaya animasi ala Studio Ghibli dengan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI).
Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X (sebelumnya Twitter) dibanjiri unggahan bertema “Ghibli-fied”, di mana wajah-wajah pengguna berubah menjadi tokoh yang tampak seperti keluar dari film My Neighbor Totoro atau Spirited Away.
Sentuhan estetik ala animasi Jepang yang terkenal itu memang mempesona. Namun, di balik popularitasnya yang meroket, muncul perdebatan tentang apakah teknologi AI mendorong batas baru seni, atau justru mengaburkan nilai orisinalitas dan etika dalam berkarya?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Aristarchus Pranayama dosen International Program in Digital Media (IPDM) Petra Christian University (PCU), memberikan pandangan kritisnya mengenai fenomena tersebut.
AI dan Visual Ghibli: Fase Sementara atau Titik Balik?
Menurut dosen yang akrab disapa Aris itu, apa yang sedang terjadi saat ini merupakan “fase terpukau.” Ia menjelaskan bahwa meskipun hasil AI tampak mengesankan, hal tersebut tidak serta merta akan menggantikan seni digital yang dikerjakan manusia.
“Orang-orang terpukau oleh kemudahan dan hasil yang menakjubkan oleh AI, namun itu hanya sebuah fase,” ujar Aris, Sabtu (10/5/2025).
Aris menyoroti bahwa gaya visual Ghibli sudah sangat kuat dan berakar dalam budaya populer global. Hal tersebut bukan tanpa alasan, hampir seluruh animasi dari studio tersebut memang terbilang populer dan mampu menciptakan imajinasi kolektif yang melekat terhadap gaya Ghibli.
“Jadi, penggunaan AI tidak akan menghapus kekuatan artistik yang sudah mapan itu,” imbuhnya.
Hak Cipta dan Etika: Gaya Tidak Bisa Dipatenkan, Tapi…
Meski tren AI art kerap memicu kekhawatiran mengenai pelanggaran hak cipta, Aris menjelaskan bahwa animasi besar seperti karya-karya Ghibli bukan hasil dari satu orang saja, melainkan kolaborasi banyak individu dalam satu tim kreatif.
Oleh karena itu, kekhawatiran mengenai “pencurian gaya” menjadi kurang relevan jika hanya dilihat dari kacamata individualistik. Namun demikian, ia tetap menekankan pentingnya menjaga standar etika dalam pemanfaatan AI.
“Gaya tidak bisa dipatenkan, tapi kualitas dan orisinalitas tetap harus dijaga. Jadi sah-sah saja kita kagum pada teknologi, tapi jangan sampai mengorbankan integritas berkarya,” tegas Aris.
AI: Alat Bantu, Bukan Pengganti Seniman
Berkat kecerdasan buatan, kini banyak tugas visual seperti membuat storyboard atau sketsa konsep bisa diselesaikan jauh lebih cepat. Dalam hal ini, Aris melihat AI sebagai tools yang bisa mempercepat proses produksi, terutama di tahap awal.
Namun, ia memberikan peringatan yang jelas: AI seharusnya tidak mengambil alih proses kreatif sepenuhnya
“Kita harus mengontrol AI, bukan membiarkannya mengarahkan kita,” katanya.
Sebagai ahli dalam bidang visual thinking dan 3D modelling, Aris percaya bahwa peran manusia tetap krusial. “Teknologi memang bisa membantu, tapi keputusan artistik dan naratif tetap milik manusia.”
Emosi Tak Bisa Diajarkan ke AI
Meski AI bisa menciptakan visual yang memukau, Aris meyakini ada batas yang tidak bisa ditembus oleh mesin. “AI hanya membuat tampilan. Tapi ia tidak bisa menciptakan cerita utuh atau menyampaikan emosi secara mendalam,” tegasnya.
Dengan latar belakang penelitian di bidang visual arts, art practice, dan digital culture, Aris menilai bahwa kekuatan sejati seni tetap terletak pada kemampuan manusia merangkai cerita dan menghadirkan nuansa emosional yang autentik—sesuatu yang hingga kini belum bisa dicapai oleh algoritma.
Bukan Ancaman, Tapi Tantangan Etis
Tren visual Ghibli hasil AI, seperti fenomena viral lainnya, mungkin akan meredup seiring waktu. Namun, teknologi di baliknya akan terus berkembang. Di sinilah Aris melihat peluang: AI bisa menjadi teman dalam berkarya—bukan pesaing. Tetapi ia menggarisbawahi pentingnya penggunaan yang bertanggung jawab.
“Teknologi ini membuka kemungkinan baru. Tapi semua itu harus diimbangi dengan kesadaran etis dan tanggung jawab kreatif,” tutupnya.
Fenomena ‘Ghibli-fied’ menunjukkan bahwa kecanggihan teknologi dan daya tarik seni bisa bersatu. Tapi di balik efek visual yang memesona, diskusi yang lebih dalam tentang hak cipta, orisinalitas, dan etika harus tetap diperjuangkan. Karena pada akhirnya, seni bukan hanya tentang apa yang tampak indah, tetapi tentang siapa yang menciptakan, mengapa, dan untuk siapa. (*)