SURABAYA, IDEA JATIM—Video-video absurd dengan karakter seperti Ballerina Cappucina, Tralalero Tralala, hingga Bombardiro Crocodilo tengah merajalela di dunia digital anak-anak.
Konten tersebut menampilkan benda mati dan hewan yang bertingkah seperti manusia dalam gaya animasi aneh, suara aneh, dan nama yang terdengar seolah-olah berbahasa Italia.
-Advertisement-.
Meski tak masuk akal, justru itulah yang membuatnya memikat, terutama bagi anak-anak dari generasi Alpha yang masih berada dalam fase perkembangan imajinatif.
Konten itu kerap disebut sebagai anomali atau bagian dari tren “<>Italian brainrot>” dan menyebar luas melalui platform media TikTok dan YouTube Shorts.
Meski terlihat kocak dan tak berbahaya, para pakar perkembangan anak mengingatkan adanya risiko serius terhadap perkembangan kognitif dan emosional anak.
Imajinasi Anak yang Terbawa Arus Absurd
Menurut Lisa Narwastu Kristsuana, dosen Pendidikan Guru PAUD dari Petra Christian University (PCU), konten seperti ini memang mengandung unsur imajinatif yang menjadi bagian alami dari proses tumbuh kembang anak, terutama pada usia dini.
“Imajinasi adalah hal penting sejak anak usia dua tahun. Tapi ketika anak mulai berusia enam tahun ke atas, mereka harus belajar mengenali realita dan berpikir logis,” ucap Lisa, Jumat (13/6/2025).
Dia menambahkan, fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Dulu, anak-anak juga tumbuh bersama tokoh-tokoh fiksi seperti Barbie, Harry Potter, hingga Doraemon. Namun yang membedakan, saat ini konten yang dikonsumsi anak semakin absurd dan kehilangan struktur cerita yang sehat.
“Dulu kita punya Barbie dan Harry Potter. Tapi yang membedakan, sekarang imajinasinya makin absurd dan tak terkendali,” ujarnya.
Algoritma dan Efek Menjadi Penikmat Pasif
Lisa menyoroti bagaimana algoritma media sosial berperan besar dalam membuat konten-konten itu terus muncul berulang di layar anak-anak. Anak akhirnya menjadi penikmat pasif, tanpa kemampuan menyaring atau memahami makna konten yang dikonsumsi.
“Konten ini menarik karena visual dan suaranya ganjil. Tapi kalau dikonsumsi terus-menerus, otak anak bisa kehilangan arah,” tuturnya.
Dia mengibaratkan efek ini seperti tanaman yang disiram sembarangan. Alih-alih tumbuh sehat, otak anak justru jadi kacau. Produksi dopamin yang tidak teratur membuat anak cepat bosan dengan hal normal, sulit fokus, bahkan mudah meledak secara emosional.
Brainrot: Ketika Tontonan Menggerus Fungsi Otak
Dampak dari konsumsi konten anomali ini dikenal dengan istilah brainrot, yaitu kondisi di mana otak kehilangan kemampuan mengolah informasi secara logis dan berurutan.
Lisa menjelaskan, brainrot tidak hanya menyerang aspek kognitif, tapi juga emosi dan sosial anak. “Anak jadi lebih kasar, gampang tersinggung, bahkan sering menyendiri,” ungkapnya.
Tak hanya itu, empati anak pun bisa terkikis. Kebiasaan menonton konten yang tidak manusiawi dan tak berperasaan membuat anak terbiasa dengan dunia yang palsu, hingga mereka kesulitan membangun relasi sosial yang hangat dan empatik.
Dilarang Malah Makin Tertarik
Meskipun konten ini berbahaya, Lisa menegaskan bahwa melarang secara total bukan solusi efektif. Pendekatan yang terlalu kaku justru bisa membuat anak semakin tertarik dan nekat mencari celah untuk tetap mengaksesnya.
“Semakin dilarang, makin anak melawan. Kita harus jadi teman bicara yang bijak, bukan penghakim,” katanya.
Dia menekankan pentingnya komunikasi hangat dan keterlibatan emosional orang tua atau guru. Anak yang merasa diterima dan dihargai di rumah akan memiliki fondasi kuat untuk menghadapi tekanan dan pengaruh dunia digital.
Edukasi Nilai dan Rasa Aman, Kunci Perlindungan Anak
Untuk mengatasi tantangan tersebut, orang tua dan pendidik harus dilibatkan secara aktif dalam mendampingi anak. Bukan hanya soal penguasaan teknologi, tetapi juga pembentukan nilai, harga diri, dan rasa aman dalam keluarga.
“Anak harus merasa dirinya berharga. Bukan karena diterima teman, tapi karena tahu dirinya dikasihi,” tegas Lisa.
Dengan pendekatan berbasis kasih sayang dan empati, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih tahan terhadap konten negatif, sekaligus lebih bijak dalam menggunakan teknologi.
Fenomena konten anomali di era digital ibarat dua sisi mata uang, bisa merangsang kreativitas, tapi juga menyimpan risiko laten yang serius.