SURABAYA, IDEA JATIM – Kasus anak bermasalah yang berujung pada persoalan hukum kian marak terjadi, tak terkecuali di Kota Surabaya. Tak jarang, pola asuh orang tua yang kurang bijak menjadi pemicu utama, bahkan beberapa orang tua membela anak mereka secara berlebihan hingga ikut terseret dalam konflik dan urusan hukum.
Fenomena ini menggugah pertanyaan: bagaimana cara mendidik anak yang benar agar menjadi generasi emas tanpa kecemasan? Pertanyaan itulah yang coba dijawab melalui giat parenting bertajuk “Mendidik Generasi Emas Tanpa Cemas” yang digelar oleh TPA-KB-TK Lasiyam Surabaya, Sabtu (30/11/2024).
Bertempat di Ruang Suroboyo, Plaza Kapas Krampung, acara ini melibatkan siswa, wali murid, dan berbagai narasumber untuk membahas pentingnya kolaborasi orang tua dan guru dalam mendidik anak di era pascapandemi.
Miftachul Ulah, Wakil Kepala Sekolah TPA-KB-TK Lasiyam, saat diwawancarai usai acara mengungkap bahwa pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu telah memberikan dampak besar terhadap perilaku anak-anak zaman sekarang.
“Dulu, anak-anak lebih mudah diarahkan, tetapi sekarang banyak yang sulit dikendalikan. Pandemi membuat mereka terlalu lama bermain gadget, kurang interaksi sosial, dan akhirnya beberapa mengalami speech delay atau masalah karakter,” ujar Miftachul, Sabtu (30/11/2024).
Ia menegaskan bahwa pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga peran besar orang tua. Baginya, jika apa yang sudah dipelajari di sekolah tidak didukung dengan pendidikan di rumah, maka hasilnya tidak akan maksimal.
“Beberapa orang tua masih ada yang hanya menuntut (ke sekolah), padahal mestinya tanggung jawab itu harus seimbang, bahkan lebih besar di pihak wali murid. Sekolah tidak bisa berjalan sendiri dan harus ada dukungan dari orangtua,” tambahnya.
Ia juga menyoroti pentingnya acara parenting seperti ini untuk menyamakan visi antara sekolah dan keluarga. Miftachul mengungkapkan bahwa TPA-KB-TK Lasiyam terus berupaya untuk mengadakan acara yang libatkan wali murid secara konsisten.
“Dengan kegiatan seperti ini, harapannya orang tua bisa lebih memahami karakter anak dan tidak menuntut terlalu berat. Anak-anak juga harus diberi kebebasan berkembang sesuai potensinya,” katanya.
Miftachul menyebut bahwa acara ini menyimpulkan tentang mendidik generasi emas yang tidak cukup dengan pendekatan akademis, tetapi juga pembentukan karakter dan sinergi antara sekolah, keluarga, dan pemerintah.
“Anak-anak kita adalah cerminan kolaborasi kita sebagai orang tua dan guru. Jika kita bisa bekerja sama, maka generasi emas tanpa cemas bukan hanya impian,” tandas Miftachul.
Sementara itu, Syaiful Bachri, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Kota Surabaya, menilai acara ini sebagai langkah penting dalam membangun generasi penerus yang tangguh dan cerdas.
Ia mengingatkan bahwa pola asuh orang tua yang keliru dapat memunculkan berbagai permasalahan di masa depan.
“Cinta berlebihan dari orang tua sering kali menjadi bumerang. Ada kasus di Surabaya di mana orang tua menghalalkan segala cara demi anaknya, hingga akhirnya harus berhadapan dengan hukum,” jelasnya.
Syaiful juga memaparkan pentingnya pemahaman terhadap Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023, yang menekankan sinergi antara orang tua dan sekolah dalam mendidik anak.
“Regulasi ini menjadi panduan penting untuk menjembatani perbedaan peran antara guru dan orang tua,” tambahnya.
Masih dilokasi yang sama, Ageng, selaku peserta dan salah satu wali murid, membagikan pengalaman pribadinya dalam mendidik dua anaknya yang berusia 7 dan 5 tahun. Menurutnya, kegiatan seperti ini mengajarkan dirinya untuk bisa beradaptasi dengan zaman dalam upaya mendidik kedua buah hatinya.
“Saya sebagai ayah berusaha mengikuti perkembangan zaman. Mendidik anak sekarang tidak bisa menggunakan metode yang sama seperti saat kita kecil. Kita harus belajar, baik melalui internet maupun seminar seperti ini,” ungkapnya.
Senada dengan yang dikatakan oleh TPA-KB-TK Lasiyam, Ia juga menekankan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada sekolah.
“Orang tua juga punya peran penting. Harapannya, kita bisa mendidik anak-anak menjadi individu yang kompetitif, peduli lingkungan, dan memiliki pondasi agama yang kuat,” katanya.
Disisi lain, Ageng turut mengkritisi kurikulum pendidikan yang dianggap kurang relevan dengan kondisi Indonesia. Baginya, menyontoh kurikulum negara maju sudah merupakan langkah positif, namun ada langkah yang terlupakan, yaitu modifikasi.
“Kurikulum kita sering mencontoh negara maju tanpa modifikasi. Harusnya itukan ATM, yaitu ‘Amati’, ‘Tiru’, dan ‘Modifikasi’ untuk lebih menyesuaikan dengan kebutuhan lokal,” tegasnya.
Melalui diskusi seperti ini, diharapkan semua pihak dapat memahami bahwa pendidikan anak bukan sekadar tugas sekolah, melainkan tanggung jawab bersama untuk memastikan masa depan Indonesia yang lebih baik. (*)