TRENGGALEK, IDEA JATIM – Di tengah semilirnya angin Desa Widoro, Kecamatan Gandusari, Trenggalek, tawa puluhan anak pecah memecah keheningan. Mereka berlarian, melompat, melempar dakon, memutar holahop, dan menapak kotak-kotak engklek dengan kaki kecil yang cekatan.
Di tempat sederhana yang dikenal sebagai Saung Ledokan Widoro itu, suasana mendadak hidup, bukan karena layar gawai, melainkan oleh warisan permainan dari masa lalu.
-Advertisement-.
Hari itu, Jumat (25/7/2025), bukan hari biasa bagi anak-anak di Desa Widoro. Sebuah kegiatan sederhana bertajuk “Peringatan Hari Anak Nasional” digelar oleh mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari UIN Sayyid Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung.
Mereka mengajak anak-anak kembali mengenal permainan yang mungkin sudah asing bagi generasi sekarang. Holahop berputar di pinggang, batu engklek dilempar dengan hati-hati, dan papan ular tangga dirubung tawa.
Tak ada notifikasi dari ponsel. Tak ada mata yang tertunduk ke layar. Hanya semangat, interaksi, dan nostalgia yang memenuhi hari itu.
Muhammad Fardhan Kusuma Atmaja, Koordinator Desa KKN UIN SATU Tulungagung, tampak sibuk memandu jalannya kegiatan. Namun senyum tak pernah lepas dari wajahnya.
Bagi Fardhan, ini bukan sekadar acara tahunan. Ini adalah upaya kecil namun penting untuk mengajak anak-anak menjauh sejenak dari kecanduan gadget yang kian meluas.
“Kami ingin memperingati Hari Anak Nasional sekaligus memperkenalkan kembali permainan tradisional,” tuturnya.
Kegiatan ini diikuti oleh siswa dari berbagai lembaga pendidikan di Desa Widoro: mulai dari SDN 1, 2, dan 3, Madrasah Ibtidaiyah Widoro, hingga PAUD dan TK setempat.
Wajah-wajah polos mereka menyimpan kekaguman, karena sebagian dari mereka memang baru kali itu mengenal permainan seperti engklek atau dakon.
“Harapannya dengan mengenal permainan tradisional ini agar anak-anak itu tidak terpaku pada gadget dan juga untuk menunjukkan permainan tradisional kepada anak-anak. Karena anak-anak zaman sekarang itu masih banyak yang asinglah terhadap permainan tradisional yang ada,” ungkap Fardhan.
Sementara itu, salah satu anak yang mengikuti kegiatan, Fano (7), mengaku senang mengenal permainan tradisional engklek. Matanya berbinar ketika dia melompat-lompat di atas kotak engklek.
“Tadi main engklek. Sebelumnya belum pernah main. Senang, karena bisa main ramai-ramai sama teman-teman,” katanya polos.
Jovan, siswa kelas 1 lainnya, juga tampak semangat. Ia mengaku jarang, bahkan nyaris tak pernah, melihat permainan ini di lingkungan tempat tinggalnya.
Meski digelar sederhana, kegiatan ini menyisakan kesan mendalam. Tidak hanya bagi anak-anak, tapi juga para orang tua dan pendamping yang hadir.
Mereka menyadari, ada cara yang lebih hangat dan mendidik untuk membuat anak-anak bahagia, tanpa perlu terpaku pada layar kecil di tangan mereka.
Di tengah gempuran teknologi dan permainan digital, kegiatan ini menjadi semacam oase. Bukti bahwa permainan tradisional tak pernah benar-benar usang, hanya menanti untuk dikenalkan kembali. Dan di Desa Widoro, langkah kecil itu baru saja dimulai, dengan tawa, lompatan kecil, dan holahop yang berputar. (*)