IPK Kinclong, Kualitas Bohong: Fenomena Inflasi IPK Mahasiswa Jadi Sorotan di Dunia Akademik

SURABAYA, IDEA JATIM – Dalam beberapa tahun terakhir, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa Indonesia menunjukkan tren yang terlampau baik. Transkrip nilai yang dihiasi dengan angka-angka nyaris sempurna kini bukan lagi fenomena langka. Tapi benarkah mahasiswa Indonesia semakin cerdas, atau malah sistem pendidikannya yang makin lunak?

Fenomena tersebut disebut dengan “inflasi IPK”, yakni tren kenaikan nilai mahasiswa secara konsisten yang muncul di berbagai perguruan tinggi. Fenomena tersebut memicu perdebatan soal validitas penilaian dalam dunia akademik, apakah itu kabar gembira, atau justru jadi sinyal bahaya?

-Advertisement-.


Pandemi dan Lonjakan IPK: Dua Sisi Mata Uang

Menurut Juliana Anggono, Wakil Rektor Bidang Akademik Petra Christian University (PCU), tren kenaikan IPK mulai terlihat sejak masa pandemi COVID-19. Beralihnya sistem pembelajaran ke digital diyakini membawa dampak besar.

“Bisa jadi ada peningkatan kapasitas belajar karena digitalisasi pembelajaran. Namun ada kekhawatiran terkait validitas nilai yang diperoleh karena risiko inflasi akademik,” ujar Juliana, Rabu (9/7/2025).

Dengan kata lain, kemudahan akses belajar selama pandemi bisa jadi mempercepat pemahaman mahasiswa. Tapi di sisi lain, standar evaluasi jadi lebih longgar, dan itu membuka celah untuk nilai yang tak lagi mencerminkan kualitas sejati.

IPK Tinggi Tak Selalu Berarti Kompeten

Juliana mengingatkan bahwa korelasi antara nilai akademik dan kemampuan nyata di lapangan tidak selalu sejalan. Salah satu penyebab utamanya adalah standar penilaian yang berbeda-beda antar kampus, bahkan antar dosen.

“Dunia nyata yang akan mahasiswa hadapi setelah lulus sangat menghargai kemampuan konkret, seperti problem solving, kolaborasi, dan adaptasi,” jelasnya.

Lulusan cum laude sekalipun belum tentu siap terjun ke dunia profesional jika tidak dibekali soft skill yang relevan. Tanpa pengalaman nyata dan evaluasi berbasis praktik, IPK hanya jadi angka tanpa makna.

MBKM: Gagasan Progresif yang Belum Matang

Pemerintah sebenarnya sudah meluncurkan sistem Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) untuk menjembatani dunia akademik dan industri. Sistem tersebut memungkinkan mahasiswa belajar lewat magang, riset, hingga aktivitas sosial.

Namun di lapangan, implementasinya masih jauh dari ideal. Banyak dosen belum dibekali pemahaman mendalam untuk merancang metode belajar dan asesmen yang tepat. Akibatnya, mutu pembelajaran menjadi timpang antar kampus, bahkan dalam satu universitas.

IPK Harus Berdiri di Atas Fondasi Kompetensi

Untuk menjaga agar IPK tetap menjadi indikator yang bermakna, Juliana menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh dalam dunia pendidikan tinggi. Monitoring ketat, pelatihan dosen, serta keterlibatan industri dalam asesmen dinilai sebagai kunci reformasi penilaian.

Ia mengambil contoh implementasi di tempat ia mengajar, yaitu PCU yang menerapkan kurikulum Whole Person Education, sebuah pendekatan yang menilai mahasiswa secara utuh tidak hanya dari sisi kognitif. Karena itu tidak semua fakultas di PCU mengalami kenaikan IPK yang signifikan.

Selain IPK, di PCU mahasiswa juga harus memenuhi syarat minimum Satuan Kredit Kegiatan Kemahasiswaan (SKKK). Aktivitas kemahasiswaan dan <>Service-Learning yakni belajar melalui pelayanan masyarakat menjadi bagian penting dari proses pendidikan.

“Selain <>hard skills, mahasiswa juga dinilai dari keaktifan mereka dalam mengembangkan aspek spiritual, emosi, sosial, dan mental,” kata Juliana.

Di tengah derasnya arus inflasi IPK, tantangan terbesar pendidikan tinggi bukan lagi sekadar menjaga angka tetap tinggi. Yang jauh lebih penting adalah memastikan setiap digit nilai mencerminkan kompetensi yang otentik bukan sekadar hasil dari sistem yang permisif.

Karena pada akhirnya, nilai sejati seorang lulusan tidak ditentukan oleh angka di atas kertas, melainkan oleh kemampuan mereka berkontribusi di dunia nyata. (*)

-Advertisement-.

IDJ