MALANG,IDEA JATIM – Di balik hamparan lereng di Desa Pondok Agung dan Bayem, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang, dua situs bersejarah diam-diam menyimpan narasi panjang lintas keyakinan dan peradaban yakni Candi Bocok dan Candi Sapto.
Keduanya bukan sekadar tumpukan batu tua, melainkan penanda eksistensi spiritual masa lampau, yang masih berdiri di tengah perubahan zaman.
Candi Bocok bercorak Hindu, sedangkan Candi Sapto menggambarkan ajaran Buddha Mahayana, dua tapak jejak kepercayaan besar yang pernah hidup berdampingan dalam lanskap kebudayaan Jawa Timur, yang berada di perbatasan Kabupaten Malang dan Kediri atau Kadiri.
-Advertisement-.
Candi Bocok: Tapak Siwa-Parwati dari Zaman Majapahit
Terletak di Desa Pondok Agung, jalanan menuju Candi Bocok yang sangat minimalis ini diyakini merupakan peninggalan abad ke-14 hingga awal abad ke-15 Masehi, masa akhir Kerajaan Majapahit.
Candi bercorak Hindu ini berstruktur bata merah dan arca utama dari batu andesit, ciri khas arsitektur Majapahit yang juga ditemukan di kawasan Trowulan dan Singosari.
Nama “Bocok” sendiri sama dengan nama dusun setempat dan belum memiliki penjelasan pasti, namun kuat dugaan kawasan Kasembon merupakan wilayah strategis jalur timur-tengah Majapahit, terutama yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan dan pertapaan.
Sejak awal 1980-an, seorang warga bernama Mulyanto telah mencurahkan hidupnya untuk merawat reruntuhan candi yang kala itu hanya berupa tumpukan bata dan dua arca utama: Siwa dan Parwati.
“Waktu itu tidak ada surat resmi, tidak ada gaji. Hanya niat menjaga warisan leluhur,” tutur Budi Hartono, pegiat budaya dari Amartya Bhumi Kepanjian,” Ahad (25/5/2025).
Pada 1985, Dinas Purbakala Jawa Timur mulai memberi perhatian. Penataan ulang arca dilakukan berdasar pakem pemujaan Hindu.
Namun situs ini kerap terancam pencurian, bahkan perkiraan ada arca Ganesha pun tak ada di candi tersebut.
Sehingga pada arca Siwa diamankan ke rumah keluarga Pak Mul atas izin resmi dinas.
“Pak Mul akhirnya dapat SK sebagai juru pelihara pada 1993, dengan honor tak seberapa. Tapi baginya, menjaga candi ini adalah laku hidup,” imbuh Budi.
Sejak tahun 2018, tugas kuru kunci atau juru pelihara itu dilanjutkan oleh anaknya, Erdik, yang tetap berkomitmen menjaga arca serta area candi dan mengantarkan pengunjung apabila ada yang datang.
“Dari masyarakat sini justru jarang ada ritual. Tapi dari luar daerah seperti Kediri, Bali, bahkan Jakarta, kadang datang untuk meditasi atau ziarah,” tambah Budi.
Candi Sapto: Mahayana yang Menghadap Kelud
Bergeser ke Candi Sapto di Desa Bayem. Candi bercorak Buddha ini berada di atas lahan seluas 500 meter persegi, bertingkat ke bawah dan menghadap ke Gunung Kelud.
Menurut Dwi Cahyono, sejarawan dari Universitas Negeri Malang, nama “Sapto” (tujuh) diduga merujuk pada jumlah arca Buddha yang dulu ada di lokasi tersebut.
Kini hanya tersisa lima arca, salah satunya berupa onggokan batu yang rusak parah. Bentuk dan ornamen arca menunjukkan gaya Buddha Mahayana, dengan figur Dyani Buddha yang sederhana dan Dyani Bodhisattwa dengan pakaian kebesaran.
“Ini petunjuk kuat bahwa pemujaan di sini mengarah pada Mahayana, mungkin berfungsi sebagai tempat meditasi atau penjagaan spiritual kawasan Kelud,” ungkap Budi Hartono.
Namun kondisi Candi Sapto saat ini cukup memprihatinkan. Meski berada di bawah pengawasan Dinas Purbakala, tidak ada papan informasi sejarah, minim perawatan, dan tidak ada pengelolaan berbasis komunitas lokal.
“Patung-patungnya bahkan tidak berkepala. Dugaan kami bisa jadi karena vandalisme atau memang belum selesai dibuat. Sayangnya, tidak ada dokumentasi resmi soal itu,” ujarnya.
Dua Warisan, Satu Kesadaran
Candi Bocok dan Candi Sapto adalah bukti bahwa Malang bagian barat menyimpan jejak akulturasi luar biasa dari peradaban Hindu dan Buddha di masa lalu.