SURABAYA, IDEA JATIM – Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Timur memberikan catatan kritis terhadap pelaksanaan Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 yang telah berlangsung sepanjang bulan Juni lalu.Â
Proses tersebut merupakan momen penting karena menjadi transisi dari sistem lama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menuju SPMB yang mengandalkan pendekatan digital, termasuk penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam proses seleksi.
-Advertisement-.
Ketua KI Jatim, Edi Purwanto, menyampaikan bahwa perubahan skema ini adalah langkah besar, namun juga membawa tantangan besar yang harus disertakan dengan keterbukaan, karena salah satu tujuan utama pergeseran sistem dari PPBD ke SPMB juga atas dasar transparansi.
“SPMB 2025 adalah proses masif yang melibatkan ribuan calon siswa dan jutaan masyarakat. Maka keterbukaan dan akuntabilitas menjadi syarat mutlak agar masyarakat tetap percaya pada sistem,” ucap Edi, Sabtu (5/7/2025).
Posko Aduan Menjadi Awal yang Baik
KI Jatim mengapresiasi langkah Dinas Pendidikan Jawa Timur dalam menyediakan kanal informasi publik seperti call center dan posko aduan selama proses SPMB berlangsung. Menurut Edi, kehadiran saluran komunikasi seperti itu penting sebagai fondasi awal keterbukaan.Â
“Ini menunjukkan adanya niat baik untuk membangun saluran komunikasi yang terbuka,” ujarnya.
Namun di sisi lain, KI Jatim juga mencatat masih adanya sejumlah persoalan keterbukaan informasi yang harus segera diperbaiki. Salah satu sorotan utama adalah soal kurangnya transparansi dalam mekanisme pemeringkatan, khususnya pada jalur domisili dan prestasi.Â
Banyak masyarakat merasa tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai posisi mereka dalam sistem seleksi, yang memicu munculnya spekulasi bahkan dugaan manipulasi.Â
“Ketika pemeringkatan tidak jelas, publik akan mudah menduga adanya manipulasi atau ketidakadilan,” kata Edi.
Penggunaan AI dalam SPMB
Kekhawatiran lain muncul dari penggunaan teknologi AI dalam proses seleksi. Hingga saat ini, belum ada penjelasan terbuka kepada publik tentang parameter dan cara kerja AI yang digunakan dalam SPMB.Â
KI Jatim menilai hal tersebut berisiko menciptakan kesan adanya “kotak hitam” dalam proses seleksi yang tidak dapat diakses atau dipahami publik.Â
“Jangan sampai penggunaan AI justru menciptakan ‘kotak hitam’ yang menutup akuntabilitas proses,” tegas Edi.
Tak hanya soal sistem seleksi, proses sosialisasi informasi pun dinilai masih belum merata. Masih banyak masyarakat yang kesulitan memahami prosedur-prosedur teknis baru seperti pengajuan PIN atau pengunggahan berkas, terutama di daerah-daerah dengan keterbatasan akses digital.Â
“Informasi harus bisa diakses dan dipahami semua kalangan, bukan hanya mereka yang melek digital,” ucap Edi.
KI Jatim mengingatkan bahwa seluruh informasi terkait SPMB, termasuk syarat, tahapan, dan hasil seleksi, merupakan jenis informasi serta-merta yang harus disampaikan secara aktif dan mudah diakses, sesuai amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.Â
“Bukan masyarakat yang harus mencari, tapi negara yang harus menyampaikan,” katanya.
Evaluasi Aspek Layanan Informasi PublikÂ
Melihat berbagai persoalan tersebut, KI Jatim mendorong Dinas Pendidikan Jatim untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem SPMB 2025, terutama pada aspek layanan informasi publik.Â
Menurut Edi, evaluasi tidak boleh hanya bersifat administratif, tapi harus benar-benar menyentuh persoalan data, transparansi sistem, serta efektivitas kanal informasi yang telah disediakan.Â
“Jangan tunggu ada gejolak baru. Evaluasi itu harus proaktif,” katanya.
Perbaikan juga harus dilakukan pada kualitas data dan keterbukaan informasi. Data terkait kuota, kriteria seleksi, hasil pemeringkatan hingga alasan kelulusan, idealnya dapat diakses dengan mudah dan bisa diverifikasi secara publik.Â
“Data yang tidak transparan adalah akar dari keresahan masyarakat,” lanjut Edi.
Terakhir, KI Jatim meminta agar kanal-kanal aduan yang sudah ada terus dioptimalkan, baik dari segi respons maupun solusi. Menurut Edi, masyarakat tidak cukup diberi jawaban formal, melainkan butuh respons cepat dan solutif atas keluhan mereka.Â
“Bukan hanya cepat, tapi juga harus solutif. Masyarakat tidak butuh jawaban normatif,” ujarnya.
Sebagai lembaga yang memiliki mandat menjaga keterbukaan informasi, KI Jatim menegaskan komitmennya untuk terus mengawal pelaksanaan hak publik atas informasi, termasuk dalam bidang pendidikan.Â