Komnas PA Surabaya Gencar Edukasi Cegah Kekerasan terhadap ABK

Pendidikan

SURABAYA, IDEA JATIM – Meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak, terutama anak berkebutuhan khusus (ABK), menjadi perhatian serius banyak pihak. Dari perundungan <>(bullying), kekerasan seksual, hingga penyalahgunaan narkotika, anak-anak kini menghadapi ancaman tak hanya di lingkungan sekitar, tetapi juga di ruang digital.

Melihat urgensi tersebut, Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Surabaya melalui Bidang Sosialisasi Edukasi dan Promosi Hak Anak, menggelar kegiatan penyuluhan bagi para orang tua dan pendidik yang menangani anak-anak berkebutuhan khusus. 

Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025 dan berlangsung di Aisyah Learning Centre, Sekardangan, Sidoarjo, sebuah lembaga pendidikan khusus yang selama ini fokus pada penanganan ABK.

Sebanyak 30 peserta yang terdiri atas orang tua, guru pendamping, serta perwakilan komunitas difabel, mengikuti penyuluhan yang membahas berbagai isu krusial seperti perundungan, kekerasan seksual, penyalahgunaan narkotika, serta penggunaan gadget yang tidak bijak.

Fokus Perlindungan dan Pencegahan

Kegiatan sosialisasi dipandu langsung oleh Ketua Komnas PA Surabaya, Syaiful Bachri, dan psikolog Mira Dian sebagai narasumber utama. Keduanya menekankan pentingnya perlindungan anak dari berbagai bentuk kekerasan.

Mira menjelaskan bahwa <>bullying maupun kekerasan seksual tidak bisa dianggap remeh. Selain menyakiti fisik, tindakan tersebut merusak psikologis anak dalam jangka panjang. Bagi ABK, dampaknya bisa lebih serius karena keterbatasan mereka dalam berkomunikasi dan mengakses bantuan.

“Bullying adalah perilaku tidak menyenangkan, baik secara verbal maupun sosial, termasuk di dunia maya. Ini membuat anak merasa tertekan, tidak nyaman, bahkan bisa menimbulkan trauma,” jelas Mira, Senin (12/5/2025).

Selain soal perundungan, Mira juga menekankan tentang bahaya dan trauma berkepanjangan yang bisa ditimbulkan dari kekerasan seksual terhadap anak. Lebih jauh, ia menggarisbawahi bahwa kekerasan seksual terhadap anak sering kali dilakukan oleh orang-orang terdekat. 

“Korban bisa mengalami trauma berkepanjangan, ketakutan berlebihan, gangguan perkembangan, hingga keterbelakangan mental yang bisa menghambat pertumbuhan mereka. Dan yang menyedihkan, pelakunya sering justru orang terdekat,” tambahnya.

Edukasi Dini, Langkah Strategis Cegah Kekerasan

Sementara itu, Syaiful Bachri menekankan bahwa pencegahan kekerasan terhadap anak seharusnya dimulai sejak dini, melalui edukasi yang memperkenalkan hak-hak anak, kesetaraan gender, serta kesadaran akan tubuh dan privasi sejak anak usia dini.

Ia juga mendorong lembaga pendidikan, terutama sekolah yang menangani ABK, untuk menciptakan zona aman atau zona anti kekerasan seksual. Di lingkungan seperti itu, anak-anak tidak hanya diajarkan tentang pelajaran akademik, tetapi juga dilindungi secara emosional dan sosial.

“Pendidikan tentang hak anak dan kesetaraan harus masuk sejak awal,” tegas Ketua Komnas PA Surabaya yang akrab disapa Kak Iful itu.

Menurutnya, menciptakan lingkungan sekolah yang aman tidak cukup hanya dengan pengawasan guru, tetapi memerlukan sinergi antara orang tua, lembaga pendidikan, dan masyarakat.

Bahaya Dibalik Menfaat Gadget

Tak hanya bicara soal kekerasan fisik dan seksual, penyuluhan itu juga mengangkat isu penyalahgunaan teknologi. Ketua LDC sekaligus Ketua Koalisi Difabel Sidoarjo, Abdul Majid, menyampaikan pentingnya pendampingan orang tua dalam penggunaan gadget, terutama bagi anak-anak yang memiliki keterbatasan kognitif.

Ia menyoroti bagaimana gadget yang tidak dikontrol bisa menjadi pintu masuk berbagai ancaman digital seperti konten kekerasan, pornografi, serta akses ke pelaku kejahatan online. Majid juga mengingatkan bahwa ABK lebih mudah menjadi target karena keterbatasan mereka dalam mengenali risiko.

“Tanpa kontrol, gadget bisa jadi sumber masalah baru bagi anak,” ujar Majid.

Dalam kesempatan yang sama, Majid juga mensosialisasikan sejumlah peraturan daerah (Perda) yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak dan penyandang disabilitas. Ia mengajak para peserta untuk memahami dan memanfaatkan regulasi tersebut sebagai bentuk perlindungan hukum bagi anak-anak yang mereka dampingi.

Di akhir kegiatan, para narasumber sepakat bahwa perlindungan terhadap anak, khususnya ABK, bukan hanya tanggung jawab guru atau sekolah. Orang tua, komunitas, dan lingkungan sekitar harus bersatu padu menciptakan ruang aman, baik secara fisik maupun digital.

Semua anak, tanpa terkecuali, memiliki hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak untuk berpartisipasi dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, setiap orang dewasa yang terlibat dalam kehidupan anak harus mengambil peran aktif dalam memastikan hak-hak tersebut terpenuhi. (*)