SURABAYA, IDEA JATIM — Bambu bukan sekadar material tradisional yang dekat dengan budaya lokal. Dalam tangan para arsitek muda, bambu kini menjelma sebagai elemen struktural masa depan, adaptif, dinamis, dan bahkan bisa digerakkan.
Tak hanya itu, teknologi mutakhir seperti <>Augmented Reality> (AR) ikut dilibatkan untuk merancang dan membangun struktur yang bukan hanya kuat, tetapi juga cerdas secara desain.
Gagasan itulah yang jadi inti dari kegiatan “<>Bamboo Nation 2025: Kinetic Bamboo Structure 2.0>“, program internasional yang mempertemukan mahasiswa dan dosen dari empat universitas di dua negara.
-Advertisement-.
Diselenggarakan di Surabaya pada 4–10 Agustus 2025, workshop ini digelar oleh Petra Christian University (PCU) dan Universitas Ciputra, bekerja sama dengan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) dan <>Xi’an Jiaotong-Liverpool University.>
Belajar Mendesain Gerak dalam Bambu
Esti Asih Nurdiah, selaku penanggung jawab acara menjelaskan bahwa di tahun 2025, fokus pembelajaran adalah struktur bambu kinetik, arsitektur yang mampu beradaptasi terhadap lingkungan melalui gerak. Para peserta tidak hanya diberi materi, tetapi langsung diajak membangun struktur nyata dengan desain bergerak.
“Di program ini, para peserta akan fokus belajar pada praktik dan eksplorasi dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip desain kinetik ke dalam konstruksi bambu,” jelas Esti yang juga dosen Arsitektur PCU, Kamis (7/8/2024).
Puncak kegiatan terjadi pada hari keempat, Kamis (7/8/2025) di Kampus PCU, ketika mahasiswa membangun struktur bambu dengan mekanisme <>Scissor-Like Element> (SLE), rangkaian seperti gunting yang memungkinkan struktur dibuka dan ditutup. Struktur silindrikal ini memiliki bentang 4,3 meter dan panjang hingga 10 meter.
Teknologi Bertemu Kerajinan Tangan
Menurut Esti, workshop tersebut bukan sekadar latihan fisik, tetapi hasil dari riset kolaboratif antar kampus. Mereka menggabungkan pemahaman tentang sistem mekanika, desain komputasi, optimisasi, perancangan sambungan, serta pemanfaatan AR dalam fabrikasi.
“Secara konvensional kita membutuhkan cetakan untuk bentuk-bentuk sulit. Dengan AR, model digital dipakai sebagai cetakan dalam pembangunan. AR digunakan pada tahap marking and coding batang bambu sebelum dirakit,” terang Esti yang meraih gelar Doktor dari <>University of Sheffield>, Inggris, lewat riset tentang struktur cangkang grid (<>gridshell>) dari bambu.
Esti menekankan bahwa unsur kinetik dalam struktur bambu bukan hanya soal fungsi mekanik, tapi juga bahasa arsitektur yang bisa menghasilkan bentuk estetis dan adaptif.
“Workshop ini memberi kesempatan bagi peserta untuk bereksperimen dengan penggunaan bambu sebagai material struktur. Mereka juga belajar tentang prinsip-prinsip kinetik di dunia arsitektur,” pungkas Esti.
Tantangan Penggunaan AR
Dari 27 mahasiswa yang terlibat, mereka terbagi menjadi 3 kelompok yang masing-masing menggunakan metode berbeda, yakni AR dan manual untuk kemudian membandingkan hasil akhir untuk menentukan metode paling efektif dan efisien.
Paramesti Yasmin, mahasiswa Arsitektur Petra Angkatan 2023 yang tergabung dalam kelompok AR, membagikan pengalamannya. Ia bersama 9 rekan setimnya yang berasal dari multi kampus mengatakan bahwa tentangan di kelompok AR berada pada proses konektivitas.
“AR itu kadang untuk mengkonektikan alatnya ke layar atau ke bambu masih membutuhkan waktu yang lumayan lama, tapi kelompok kami memang yang paling menarik sih,” ungkap Paramesti.
“Jadi meski metode yang paling efektif menurut saya itu masih menggunakan manual, tapi pengalaman menggunakan AR ini sangat berharga,” imbuhnya.
Paramesti menambahkan, meskipun struktur yang mereka rakit pada hari keempat masih digerakkan secara manual dengan tangan, ada rencana agar mekanisme geraknya menggunakan kinetik dan bisa otomatis.
Melalui pendekatan tersebut, <>Bamboo Nation 2025> tak hanya menunjukkan kerajinan tangan tradisional dipertemukan dengan inovasi modern, menjadikan bambu tak sekadar simbol lokalitas, tetapi juga jembatan menuju arsitektur berkelanjutan masa depan. (*)