Menelusuri Sejarah Eyang Prawiro Suratmadja, Guru dari Ulama Besar di Nganjuk

NGANJUK, IDEA JATIM — Sosok Eyang Prawiro Suratmadja atau yang juga dikenal sebagai Ki Ageng Abdul Jamil, merupakan salah satu tokoh spiritual dan penyebar agama Islam yang disegani di wilayah Jawa Timur. Namanya dikenal luas karena karomah atau keistimewaannya yang diyakini mampu hadir dan mengajar di empat tempat berbeda dalam waktu yang sama.

Eyang Prawiro Suratmadja dipercaya hidup pada masa transisi antara akhir era Mataram Islam dan awal masuknya kolonialisme Belanda. Beliau lahir masa kolonial yang madsih bercokol di bumi pertiwi. Ki ageng Abdul jamil di lahirkan ketika pulau jawa masih berkecamuk perang melawan penjajah belanda, yang kondisinya cukup berantakan dan tidak menentu. 

-Advertisement-.


Selain itu, dia dikenal sebagai guru rohani ulama besar, sekaligus panutan masyarakat karena kesederhanaannya, kealimannya, serta kedekatannya dengan murid-muridnya dari berbagai penjuru.

Dalam hal tersebut, dia sosok orang yang sudah tidak bisa dianggap remeh dalam mental, pikiran maupun keilmuan. Semasa kecil dia digembleng di keluarga yang cukup kental dengan religi yang dalam.

Namun demikian, dia juga putra dari seorang ulama sekaligus pejabat pemerintahan masa Kadipaten. Dia putra dari Kiai Ahmad Mubarq bin Syeh Abdul Hamid dan keturunan dari Tumenggung Caruban hingga Adipari Sumorota Ponorogo. Jika ke atas ki ageng Abdul Jamil masih keturunan dari punggawa kerajaan Mataram Islam. 

Selain itu juga, saat usia kecil sudah mengenyam pondok pesantren mulai dari Madura, Gresik, hingga Ponorogo. Setelah dewasa kembali ke rumah tinggalnya yang sekarang berada di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk.

Ki Ageng Abdul Jamil selama hidupnya tidak pernah memperlihatkan keilmuanya. Dia terlihat seperti orang Jawa pada umumnya. Ketika perang Jepang sudah sudah ikut perang hingga perang agresi militer 1 hingga 2. 

Salah satu kisah yang melegenda dan menjadi bahan tutur dari generasi ke generasi adalah kemampuannya dalam mendampingi para santri di empat tempat berbeda secara bersamaan.

Keempat tempat itu disebut berada di kawasan Jawa Timur, antara lain di sekitar wilayah Nganjuk. Di masing-masing lokasi, murid-muridnya bersaksi bahwa Eyang hadir secara fisik, mengajar kitab kuning, berdiskusi soal tasawuf, bahkan memimpin dzikir bersama. Semua terjadi di waktu yang bersamaan.

Santri yang pernah mengenyam keilmuannya antara lain Gus Maksum, Kiai Mansyur Mujusari, Kiai Khudori, Kiai Hakim Sekar Putih, Mbah Gafur yang makamnya di Hargojali, Mbah gafur hidup ikut ki Ageng Abdul Jamil selama 7 tahun, dan masih banyak santrinya

Menurut cerita dari para keturunannya dan masyarakat setempat, karomah tersebut adalah bentuk kemuliaan dari kedalaman ilmu spiritual yang dia miliki. Tidak sedikit yang meyakini bahwa Eyang telah mencapai maqom kewalian, sehingga dapat “digandakan” oleh kehendak Allah demi menebarkan ilmu dan kebaikan.

Makam Eyang Prawiro Suratmadja kini menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah. Setiap haul atau peringatan wafatnya, ribuan orang datang untuk berdoa dan mengenang jasa-jasanya.

Aris Trio mengatakan bahwa pelajaran terbesar dari Eyang bukan sekadar keistimewaan spiritual, tapi semangat menyebarkan ilmu dan membimbing umat tanpa kenal lelah.

“Beliau bukan hanya seorang ulama, tapi juga pembuka jalan batin bagi para muridnya. Karomahnya hanyalah penguat, tapi inti ajarannya adalah ilmu, adab, dan keikhlasan,” ujar Aris

Menurut Aris, selain sebagai sesepuh Desa Ngetos, dia juga masih saudara dengan Syeh Abu Yusuf Ngetos, dan juga cucu dari Syeh Abdul Hamid. Makam Ki Ageng Abdul Jamil ke barat dari makam Syeh Abu yusuf, kurang lebih 3 meter jaraknya.

“Peninggalan yang masih ada hingga sekarang pohon ringin yang ditanam di tengah alun-alun Kabupaten Nganjuk. Hal itu masih dikuatkan dengan saksi hidup yang pernah mengetaui,” kata Aris, Ahad (27/7/2025).

Sebelum meninggal, Ki Ageng Abdul Jamil memberikan informasi kepada murid-muridnya agar segera ke rumah untuk belajar ilmu. Seperti karena dia tahu sebentar lagi dirinya akan meninggal. Ternyata benar, dia meninggal tahun 1983.

Walaupun sudah meninggal dunia, Eyang Prawiro Suratmadja menjadi bukti bahwa warisan spiritual Nusantara sangat kaya dan sarat nilai. Karomah yang melekat pada dirinya hingga kini menjadi pengingat bahwa keberkahan ilmu dan perjuangan tidak selalu terukur oleh logika, tapi bisa dirasakan melalui keyakinan dan warisan amal baik. (*)

-Advertisement-.

IDJ