Rumah Raib, Utang Datang: Kisah Arya Korban Mafia Tanah di Malang

MALANG, IDEA JATIM – Arya Sjahreza Bayu Lesmana tak pernah menyangka, niat baik membangun usaha justru berujung mimpi buruk. Rumah orang tuanya di Jalan Bandung, Kota Malang, yang dijadikan agunan untuk mendukung bisnis pabrik rokok, kini raib. Lebih parah lagi, Arya justru ditagih utang miliaran rupiah yang tak pernah ia sepakati.

“Saya enggak pernah menjual rumah itu. Tapi entah bagaimana, sekarang sertifikatnya bukan atas nama orang tua saya lagi, melainkan atas nama orang lain: Rizky Thamrin. Dan saya ditagih utang Rp12,5 miliar,” ujar Arya dalam suara getir, di hadapan puluhan mahasiswa Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang di kafe Janaloka, Selasa malam (20/5/2025).

-Advertisement-.


Arya hadir bukan sebagai akademisi atau pakar, tapi sebagai korban nyata dari apa yang disebut banyak orang sebagai mafia tanah. Ia menjadi sorotan utama dalam seminar bertajuk “Membaca Realitas Hukum Indonesia” yang digelar oleh Senat Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Malang.

Lewat kisahnya, Arya membuka mata peserta seminar bahwa hukum bukan sekadar soal pasal dan teori, tapi tentang nyawa, rumah, dan masa depan orang-orang biasa yang bisa direnggut lewat manipulasi dokumen dan permainan kekuasaan.

Menurut Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Syariah, Rifki Maulana, seminar ini sengaja diangkat dari realitas yang menyakitkan.

“Kasus mafia tanah itu nyata. Kami ingin mahasiswa hukum melihat langsung bagaimana korban bisa terjebak sistem, bahkan kehilangan hak paling dasar mereka,” ujar Rifki.

Arya menjelaskan bahwa semua berawal dari kerja sama bisnis dengan mitranya. Namun seiring waktu, kerja sama itu menjelma menjadi rangkaian transaksi yang tak jelas ujungnya. Ia menilai ada manipulasi dalam pengalihan sertifikat rumah orang tuanya hingga berpindah tangan tanpa sepengetahuan keluarganya.

“Saya cuma ingin menyelamatkan usaha, bukan kehilangan rumah dan jadi pihak yang harus menanggung utang yang bukan saya buat,” tegasnya.

Seminar ini juga menghadirkan Umar Patek, mantan narapidana kasus terorisme yang kini bertransformasi menjadi agen perdamaian dan pebisnis kopi. Meski dari latar yang berbeda, keduanya sama-sama bicara soal bagaimana hukum bisa menjadi jalan gelap atau terang, tergantung siapa yang mengendalikannya.

Forum ini pun menjadi ruang kontemplasi penting. Bagi para mahasiswa hukum, ini adalah pengingat bahwa mereka tak hanya akan menghadapi teori di ruang kuliah, tapi juga kenyataan pahit di lapangan, di mana korban seperti Arya masih berjuang sendirian melawan sistem yang rumit. (*)

-Advertisement-.

IDJ