SURABAYA, IDEA JATIM – Indonesia adalah surga bagi industri rokok, tetapi neraka bagi generasi mudanya. Di berbagai sudut kota, iklan rokok berdiri megah di billboard, terpampang di media sosial, bahkan menyelinap dalam tayangan televisi. Seolah-olah merokok adalah bagian dari gaya hidup yang keren dan penuh kebebasan.
Namun, di balik itu, tersembunyi angka-angka mengkhawatirkan: prevalensi perokok anak terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan diprediksi bisa mencapai 16 persen pada 2030 jika tidak ada tindakan tegas.
Menanggapi kondisi ini, Gerakan Seribu Surat Anak Indonesia untuk Menteri Komunikasi dan Digital (KOMDIGI) hadir oleh RAYA Indonesia (Rumah Kajian Dan Advokasi Kerakyatan Indonesia) sebagai bentuk perlawanan.
-Advertisement-.
Ribuan anak di berbagai daerah bersatu, menulis surat kepada pemerintah untuk satu tuntutan: hapuskan iklan dan promosi rokok dari televisi, radio, dan internet. Setidaknya ada 5 lokasi yang dipilih, yakni Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Banten, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Jawa Timur.
Untuk wilayah Jawa Timur, kegiatan tersebut dilaksanakan di Kota Surabaya dengan didukung oleh Omah Dolanan Ramah Anak (Omdobara). Kegiatan dilaksanakan di Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya, tempat ratusan santri menyuarakan harapan mereka untuk masa depan yang lebih sehat.
Santri Menulis Surat: “Kami Ingin Generasi yang Sehat”
Di dalam aula pesantren, ratusan santri dari Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Alif Laam Miim duduk khusyuk. Tidak seperti biasanya, kali ini mereka sedang menulis surat, yang mana di setiap goresan pena di atas kertas adalah jeritan hati mereka kepada Menteri KOMDIGI, yakni Meutya Viada Hafid.
Dalam kegiatan ini, Syaiful Bachri, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Surabaya, hadir dan berperan sebagai narasumber utama sekaligus pendamping bagi para santri dalam menuliskan surat.
Mohammad Moshthofaa, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan (Waka Kesiswaan) MA Alif Laam Miim, mengungkapkan kebanggaannya terhadap kegiatan ini.
“Kami sangat mengapresiasi gerakan ini, karena ini perdana bagi kami. Sangat edukatif sekali,” ujar Moshthofaa saat dikonfirmasi pada Jumat (28/2/2025).
Menurutnya, anak-anak tidak hanya mendapatkan pemahaman tentang bahaya rokok, tetapi juga didorong untuk berani bersuara. Ia menegaskan bahwa madrasah memiliki aturan ketat soal rokok, bahkan guru pun dilarang merokok di lingkungan sekolah.
“Kalau gurunya merokok, bagaimana bisa memberi contoh yang baik? Upaya kami di MA Alif Laam Miim adalah dengan edukasi, bimbingan konseling, dan kerja sama dengan klinik kesehatan pesantren,” tambahnya.
Namun, ia menegaskan bahwa upaya sekolah saja tidak cukup. Regulasi dari pemerintah menjadi kunci utama untuk melindungi anak-anak dari paparan rokok.
“Tanpa regulasi yang kuat, anak-anak kita akan terus diserbu iklan rokok. Rokok adalah pintu masuk ke zat adiktif lainnya seperti narkoba. Jika pemerintah tidak bertindak, kita bisa kehilangan generasi emas kita,” pungkasnya.
Mashuri Hamzah, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan (Waka Kesiswaan) MTs Alif Laam Miim, menilai bahwa acara ini sangat membantu pihak madrasah dalam menanamkan kesadaran sejak dini.
“Anak-anak usia SMP ini masih sangat mudah terpengaruh. Kalau iklan rokok terus ditayangkan, pola pikir mereka bisa terpengaruh. Mereka bisa melihat rokok sebagai hal yang wajar atau bahkan keren,” katanya.
Menurutnya, madrasah juga memiliki program bulanan untuk mengingatkan siswa tentang bahaya rokok. Namun, ia berharap ada peran lebih besar dari pemerintah.
“Harapan kami, iklan dan sponsor rokok benar-benar dihapus dari media. Jangan sampai anak-anak kita terus terpapar propaganda industri rokok yang hanya mencari keuntungan, tanpa peduli dampaknya bagi generasi muda,” tegasnya.
Ia juga berpesan kepada para santri agar tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan di luar pesantren.
“Sebagai santri, kalian harus kuat. Jangan sampai pergaulan di luar sana menjerumuskan kalian. Serap ilmu yang kalian dapat hari ini, dan jadilah generasi yang bebas dari rokok,” pesannya kepada para siswa.
Suara Santri untuk Masa Depan Tanpa Rokok
Di antara ratusan santri yang menuliskan surat, Amirul Hakim, siswa kelas XI MA Alif Laam Miim, merasa bahwa kegiatan ini telah membuka kesadarannya tentang bahaya iklan rokok.
Sebagai bagian dari Generasi Z, ia menyoroti bagaimana iklan rokok dengan mudah menjangkau anak-anak seusianya melalui internet, membangun rasa penasaran, dan akhirnya mendorong mereka untuk mencoba.
“Alhamdulillah, acara ini bermanfaat sekali. Kami jadi tahu betapa bahayanya iklan rokok bagi generasi muda. Harapannya, setelah ini, teman-teman yang merokok bisa mulai mengurangi, sementara yang belum merokok bisa semakin waspada,” ujarnya.
Lebih dari sekadar pemahaman, Amirul merasa bangga bisa menyuarakan aspirasinya langsung kepada pemerintah. Ia bahkan bertekad untuk turut mengampanyekan bahaya rokok di masa depan.
Komnas PA: “Anak-Anak Harus Dilindungi, Bukan Dibidik Industri Rokok”
Sebagai narasumber utama dalam kegiatan tersebut, Syaiful Bachri, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Surabaya, menegaskan bahwa perlindungan anak dari paparan rokok harus menjadi prioritas pemerintah.
Ia menyoroti betapa agresifnya industri rokok dalam menjadikan anak-anak sebagai target pasar melalui iklan dan promosi di berbagai media.
“Anak-anak kita seharusnya dilindungi, bukan dibidik sebagai calon perokok baru. Iklan rokok yang terus muncul di televisi, radio, dan internet adalah bentuk eksploitasi yang harus dihentikan,” ujarnya.
Syaiful juga mengapresiasi keberanian para santri dalam menyuarakan aspirasi mereka melalui surat kepada Menteri Komunikasi dan Digital. Menurutnya, gerakan ini bukan hanya sekadar simbolis, tetapi langkah nyata dalam menekan pemerintah agar segera mengambil tindakan tegas.
Akan Sejauh Mana Suara Santri Didengar?
Ribuan surat kini tengah dikumpulkan dan akan dikirimkan langsung ke Menteri Komunikasi dan Digital. Pertanyaannya, apakah suara para santri ini akan benar-benar didengar?
Selama ini, industri rokok memiliki kekuatan besar di Indonesia, termasuk dalam dunia periklanan. Namun, jika suara anak-anak terus disuarakan dan mendapat dukungan luas, bukan tidak mungkin kebijakan akan berubah.
Gerakan Seribu Surat ini bukan hanya sekadar simbolik. Ini adalah bukti bahwa anak-anak, bahkan dari lingkungan pesantren sekalipun, memiliki kesadaran dan keberanian untuk menuntut hak mereka. Mereka tidak ingin tumbuh dalam generasi yang dijejali iklan rokok.
Kini, keputusan ada di tangan pemerintah. Akankah mereka berpihak pada anak-anak atau tetap membiarkan industri rokok bebas meracuni generasi mendatang? (*)